Hukum seorang perempuan belajar dari guru lelaki atau seorang lelaki belajar dari guru perempuan adalah dibolehkan dalam syariat. Hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang adalah bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tidaklah diharamkan karena alasan keberadaan itu sendiri. Tetapi yang membuat perbuatan tersebut diharamkan adalah terjadinya kondisi yang bertentangan dengan ajaran agama yang melingkupi perbuatan itu, seperti jika perempuannya menampakkan aurat, pertemuan itu bertujuan untuk kemungkaran, atau mereka berdua dalam keadaan khalwat. Para ulama menegaskan bahwa perbuatan ikhtilat yang diharamkan –yang disebabkan oleh perbuatan ikhtilat itu sendiri— adalah jika lelaki dan perempuannya saling menempel dan saling bersentuhan, bukan murni karena keberadaan seorang lelaki dan perempuan di satu tempat.
Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
ففي الصحيحين عن سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه قال: لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلاَ قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلاَّ امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ
Artinya:
“Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi r.a., ia berkata, “Ketika Abu Usaid as-Sa’idi melakukan resepsi pernikahan, dia mengundang Nabi saw. dan para sahabat. Tidak ada yang membuatkan dan menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya, Ummu Usaid.” Imam Bukhari membuat judul untuk hadis ini dengan: “Bab Perempuan Melayani Kaum Lelaki dalam Acara Resepsi Pernikahan Secara Langsung.”
Al-Qurthubi berkata dalam kitab tafsirnya, “Para ulama kami (madzhab Maliki) berkata, “Hadis ini menunjukkan kebolehan seorang istri melayani suami dan para undangan dalam acara resepsi pernikahannya.”
Dalam Syarh al-Bukhari, Ibnu Baththal berkata, “Hadis ini menunjukkan bahwa kain pembatas yang memisahkan lelaki dengan perempuan dalam berinteraksi langsung adalah tidak wajib bagi para wanita mukmin. Hal itu hanya khusus bagi para istri Nabi saw.. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran,
إِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
Artinya:
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (Al-Ahzâb: 53).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bâri, “Hadis ini mengandung penjelasan kebolehan seorang perempuan melayani suaminya dan tamu undangannya. Tentu saja, kebolehan itu jika tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan perempuan tersebut selalu menjaga auratnya dalam keadaan tertutup. Hadis ini juga menunjukkan kebolehan seorang suami meminta istrinya untuk melakukan pelayanan seperti itu.”
Dalam kitab Shahîh Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. meriwayatkan kisah Abu Thalhah al-Anshari dan istrinya yang melayani tamu mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa keduanya berpura-pura makan di hadapan tamu mereka, padahal mereka tidak makan sama sekali, sehingga mereka berdua pun tidur dengan perut kosong tanpa makan malam terlebih dahulu.
Dalam kitab Qirâ adh-Dhayf, Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa seorang lelaki berkata kepada istrinya, “Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat dari roti yang diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan tambahkanlah mentega sebagai lauknya lalu hidangkanlah kepada tamu kita. Suruhlah pembantu untuk mematikan lampu.” Kemudian ketika menemani tamu mereka makan, keduanya menggerakkan mulut mereka seperti sedang makan, sehingga tamu mereka mengira bahwa keduanya juga ikut makan.” Zahir kisah ini mengisyaratkan bahwa mereka makan dalam satu nampan.
Nabi saw. lalu berkata kepada mereka,
قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ
“Allah takjub dengan perilaku kalian terhadap tamu kalian tadi malam.”
Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan kisah mereka,
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Al-Hasyr: 9).
Dalam Shahîh Bukhari diriwayatkan dari Abu Juhaifah r.a., ia berkata, “Nabi saw. mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda`. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda`. Ia bertemu dengan Ummu Darda` yang ketika itu memakai pakaian yang lusuh. Salman lalu bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda`, tidak lagi menyukai dunia.” Sebentar kemudian, Abu Darda` muncul dan membuatkan Salman makanan”, dan seterusnya.
Al-Hafizh Ibu Hajar dalam Fathul Bâri berkata, “Di dalam hadis ini terdapat beberapa faedah..[Antara lain] kebolehan berbicara dan bertanya kepada wanita yang bukan mahram tentang sesuatu yang mendatangkan maslahat.”
Adapun berkaitan dengan perempuan mengajar ilmu-ilmu syariat kepada kaum lelaki, maka sebagaimana diketahui dalam Sunnah bahwa para istri Nabi saw. mengajarkan ilmu dan menyebarkan agama kepada siapa saja. Kitab-kitab Sunnah penuh dengan hadis yang diriwayatkan dari mereka, bahkan dari para perawi wanita setelah mereka. Dalam kitab al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, Ibnu Hajar al-’Asqalani menyebutkan biografi seribu lima ratus empat puluh tiga (1543) perawi wanita, di antara mereka ada ulama fikih, ulama hadis dan sastrawan.
Dahulu, para wanita muslimah selalu berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam berbagai aktifitas kehidupan sosial secara umum dengan tetap menjaga cara berpakaian dan adab-adab islami. Bahkan, ada di antara para wanita sahabat Nabi saw. yang menjadi penanggung jawab hisbah (polisi syariat), seperti yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr –dengan sanad yang terdiri dari para perawi tsiqât— dari Abu Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia berkata, “Saya melihat Samra` binti Nuhaik –seorang perempuan yang pernah bertemu dengan Nabi saw.— memakai pakaian perang dan kerudung yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan masyarakat serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar.”
Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari kenyataan sejarah yang disebutkan oleh Sunnah Nabawiyah dan sejarah Islam. Kebiasaan atau adat masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu tidak dapat dijadikan standar bagi kebenaran agama dan syariat. Ajaran agama berada pada tingkat tertinggi dan tidak ada yang dapat melampauinya. Jika ada seseorang yang ingin memilih bersikap wara’ dengan lebih berhati-hati, maka ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya, atau bersikap keras dan mempersempit urusan yang dimudahkan dan dilapangkan oleh Allah.
Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.
========================